• a short story — Setelah Aku Mengambil Nyawaku

felinecie
11 min readApr 29, 2024

--

Trigger Warning : Suicide, Blood

Aku menangis sendirian di dalam kamar yang gelap dan menyesakkan. Gelak tawa dari kamar sebelah di mana ada ayah, ibu, dan adikku, terdengar seperti sorakan yang seolah menyemangatiku untuk semakin tenggelam. Aku berdecih, “Kalau aku mati hari ini, kayaknya mereka nggak akan peduli.”

Kuraih kembali kertas di atas meja belajar yang menjadi awal mula wajahku bermandikan air mata malam ini, sebuah surat persetujuan orang tua untuk mengikuti kegiatan perkemahan dari sekolah yang akan dilaksanakan esok lusa. “Bahkan aku yakin mereka akan jauh lebih bahagia tanpaku,” lirihku dengan air mata bercucuran semakin deras.

Hubunganku dengan keluarga kecilku ini memanglah tidak begitu baik, terutama hubunganku dengan Ayah. Sebagai seorang anak perempuan pertama, ketika kecil dulu aku begitu dekat dengan Ayah, ke mana pun ia pergi aku akan merengek untuk ikut, duduk di atas pangkuannya di teras rumah menonton jalanan yang tergenang gemericik air hujan atau sekadar meringkuk dalam kehangatannya hingga aku ketiduran.

Sepanjang yang kuingat, aku adalah seorang daddy’s girl sebelum adik laki-lakiku hadir di dunia saat aku berusia 5 tahun dan semuanya tiba-tiba saja berubah, mungkin ini terdengar klise, tapi begitulah kenyataannya. Aku merasakan sendiri bagaimana perhatian orang tuaku bukan hanya terbagi, namun sepenuhnya beralih kepada adikku yang tidak mengerti apa-apa kala itu. Seorang bayi lucu tak berdosa yang hanya tahu menangis dan minta makan, tapi sudah aku salahkan dan kubenci atas perubahan perlakuan orang tuaku kepadaku.

“Nggak usah ikut! Ayah udah bilang kalau kemah itu berbahaya, nggak usah ngeyel kamu!” Ayah melempar surat persetujuan orang tua yang kutunjukkan di ruang tamu untuk meminta tanda tangannya selepas maghrib tadi. Tinggi suaranya yang memenuhi ruangan membuatku terlonjak dari tempatku berdiri.

“Tapi kakak harus ikut buat dapat sertifikat, Ayah!” Aku membalas dengan intonasi yang sama tingginya, air mata di sudut-sudut mata sudah menunggu untuk tumpah.

“Nggak usah!”

Setelahnya Ayah berjalan menuju kamar, meninggalkanku yang tak kuasa lagi menahan bendungan air mata. Dengan suara bergetar aku kembali berucap, “Ayah selalu aja kayak gitu! Aku ini udah SMA, bukan anak-anak lagi! Dari kecil Ayah gak pernah ngasih izin aku buat ikut kemah! Aku juga pengen punya pengalaman! Aku juga pengen kayak yang lainnya!”

Tak terhitung sudah berapa kali aku dan Ayah berseteru setiap kali kami memulai percakapan. Entah sejak kapan semuanya sampai ke titik ini, ketika kami diharuskan untuk berbicara dengan satu sama lain, pada akhirnya kami akan bertengkar karena persoalan paling sepele, karena tidak ada satu pun dari kami yang mau mengalah atau menurunkan ego. Like father like daughter.

Karena itu, kami sangat jarang berbicara bila tidak perlu meskipun tinggal di bawah atap yang sama. Ibu juga akan ikut-ikutan mendiamkanku setiap kali aku dan Ayah bertengkar, adikku terlalu larut dengan dunianya sendiri untuk peduli, terlebih aku dan dia tidak pernah dekat. Semua itu membuatku berakhir pada kesendirian sunyi yang lambat laun mendorongku semakin jauh pada kegelapan.

Rumah yang seharusnya menjadi tempatku pulang rasanya seperti lelucon setiap kali aku memikirkannya. Benar, hidupku adalah sebuah lelucon. Bahkan saat hari besar seperti lebaran tiba, hari yang seharusnya menjadi waktu untuk saling meminta maaf dan memaafkan, tidak ada yang berubah, kami tetap seperti orang asing.

Orang-orang bilang Ayah seperti itu karena dia menyayangiku, dia tidak mau hal buruk terjadi padaku karena aku adalah anak perempuannya. Tapi mereka tidak tahu bahwa rasa sayang itu justru membunuhku dari dalam secara perlahan.

Lampu belajar berbentuk angsa kunyalakan sebelum aku mendudukkan diriku di depan meja belajar.

Tanganku bergetar mencoret-coret kolom tanda tangan pada surat persetujuan orang tua yang seharusnya dibubuhi tanda tangan Ayah, aku meniru tanda tangannya yang diam-diam sudah kuhapalkan di luar kepala. Bisa saja sejak awal aku tidak memberitahu Ayah tentang surat itu dan langsung menandatanganinya sendiri sehingga tidak ada drama pertengkaran seperti apa yang terjadi hari ini, tapi dengan setitik harapan dalam hati yang berharap Ayah mungkin sudah berubah, akhirnya aku memberanikan diri untuk menunjukkan surat itu padanya. Dan tentu saja, Ayah menghancurkan harapanku lagi dan lagi secepat aku berkedip.

Kutatap surat itu untuk terakhir kalinya sembari mengingat kembali peristiwa pahit yang terus berputar bagai kaset rusak di dalam kepalaku sebelum melipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat yang kemudian kuselipkan di pertengahan notebook hitam berisi lirik-lirik lagu yang kusukai dan sengaja kutulis di sana untuk memudahkanku menghapalkannya.

Aku membawa langkahku ke depan sebuah cermin yang menempel menjadi satu dengan lemari pakaian di kamarku. Bersama cahaya remang-remang dari lampu belajar angsa di atas meja belajar, aku bisa melihat betapa menyedihkannya keadaanku. Mataku terlihat sembab, sudah pasti akan semakin membengkak esok hari, mungkin aku akan berbohong lagi serperti biasanya kepada teman-temanku kalau aku terjaga semalaman untuk menonton sebuah drama yang menyedihkan.

“Capek, ya?” Tanyaku pada pantulan diriku sendiri di dalam cermin. Segera saja cairan panas nan asin kembali berlomba-lomba untuk menunjukkan betapa hancurnya isi kepala dan mati rasanya hatiku. Lelah dengan jalan hidupku yang lucu.

Ketika lututku terasa lemas untuk menopang berat badan dan aku hampir terjatuh lagi, siap untuk menyembunyikan wajah dan isak tangisku di antara kedua kaki sepanjang malam, aku merasakan rambut-rambut lembut kucingku menyapu kulit dibarengi dengan suara mengeongnya yang menggemaskan.

Dia adalah Camelia, kucing telon kesayanganku yang menjadi salah satu alasan utama aku masih bertahan.

Kuangkat tubuh mungil Camelia dan kupeluk erat-erat di depan dada sebelum membawanya berbaring ke atas kasur. Seolah mengerti akan kesedihanku seperti sebelum-sebelumnya, Camelia menjilati pipiku yang masih basah dan merapatkan posisinya dalam pelukanku. Dia adalah satu-satunya alasan aku masih terus kembali ke rumah yang tidak terasa seperti rumah ini.

Sisa malam itu kuhabiskan dengan menangis dan memikirkan hidupku. Tentang bagaimana bisa aku berakhir di sini? Di mana letak kesalahan yang membuat semuanya semakin rumit seperti ini? Kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Aku pun terbangun keesokan harinya bahkan sebelum alarm di ponselku berbunyi. Mengintip dari balik jendela, langit masih menunjukkan warna biru gelap, udara terasa dingin menusuk kulit tapi hal itu tidak menghentikanku untuk bergegas mandi.

Dingin dan sunyinya suasana pagi itu tak mampu mengalahkan kebasnya rasa di dalam hatiku.

Selalu saja seperti ini, setiap kali aku menangis hingga ketiduran, aku akan terbangun dengan suasana hati yang jauh lebih buruk seakan aku adalah si paling menderita di seluruh penjuru dunia.

Hari ini jadwalku di sekolah adalah bersih-bersih karena kegiatan kemah yang sangat ingin kuikuti itu akan dimulai besok di sebuah lapangan yang letaknya berada pada area belakang sekolah. Aku segera mengenakan seragam dan memasukkan notebook hitamku ke dalam tas, satu-satunya barang selain pena dan sebotol air putih yang kubawa hari itu karena kegiatan belajar mengajar ditiadakan.

Setelah menyemprotkan wewangian melati kesukaanku, mengoleskan lip-balm berwarna merah muda pada bibir, dan memakai kaos kaki, aku segera mengisi mangkok makan Camelia serta mengganti air minumnya, kubelai rambut halusnya sembari berpamitan pada kucing kesayanganku itu.

Langit berangsur terang seiring roda sepeda tua berwarna hijau lumut yang sudah menjadi sahabatku sejak aku baru berusia 5 tahun, melaju membelah jalanan pagi. Aku sudah terbiasa berangkat ke sekolah sendirian sejak menginjak usia itu karena kehadiran adikku. Ibu sibuk menjaganya, sedangkan Ayah harus bekerja.

Tak lama kemudian, matahari pun dengan malu-malu menampakkan dirinya dari ufuk timur. Sinarnya yang hangat menerpa wajahku, membuat pikiranku menjadi jauh lebih tenang setelah semalaman suntuk dipenuhi benang kusut.

“Bu Asih, Pak Hanif!” Sapaku dengan lantang dan senyum merekah sebelum menghentikan sepedaku di depan sebuah warung sederhana milik sepasang suami istri penjual berbagai macam gorengan di perempatan sebelum lampu merah yang sudah menjadi langgananku sejak beberapa tahun silam. Aku mengatur ekspresiku sedemikian rupa layaknya seorang aktor kelas atas untuk menutupi suasana hatiku yang sebenarnya.

“Eh, Mbak Aliya... gasik men toh, Mbak.”

Iyo ki, Mbak. Sekolah masuknya masih 2 jam lebih dari sekarang loh, Mbak.”

Aku tersenyum menanggapi keheranan sepasang suami istri itu karena mendapat kunjungan dariku yang jauh lebih awal dari biasanya, “Iya nih, Pak, Bu. Aliya mau ngepel sekolah,” candaku membuat keduanya tertawa terbahak-bahak.

Setelah memesan gorengan-gorengan kesukaanku yaitu risol mayo, risol bengkoang, bakwan jagung, dan tempe mendoan basah, aku berpamitan pada sepasang suami istri itu untuk melanjutkan perjalananku ke sekolah. Seperti biasanya, aku memakan gorengan-gorengan yang kubeli tadi di tempat duduk panjang yang ada di ujung lorong perpustakaan sekolah. Halaman depannya merupakan sepetak kebun berisi sayur-sayuran yang ditanam oleh siswa-siswi di sekolahku, tempat itu sangat pas untuk melamun.

Setelah mendapatkan arahan dari kepala sekolah, hari itu seluruh warga sekolah pun dibuat sibuk dengan rangkaian kegiatan bersih-bersih hingga bel istirahat pertama berbunyi. Ketika yang lain berlomba-lomba menuju kantin karena takut kehabisan menu kesukaan mereka, aku lebih memilih untuk duduk di kelasku menghapallkan lirik lagu yang sudah kutulis bersama sahabatku. Meskipun baru mengenal satu sama lain satu tahun lalu saat memulai pelajaran di bangku sekolah ini, aku bisa dengan bangga menyebutnya sebagai seorang sahabat.

Namanya Yanti, dia adalah seorang introvert sama sepertiku, dan dia tidak suka kepo dengan urusan orang lain, termasuk aku sebagai teman dekatnya sendiri. Karena itu, aku merasa nyaman berteman dengan Yanti, dia mendengarkan apa yang ingin kuceritakan tapi tidak pernah memaksaku untuk menceritakan apa yg tidak ingin kuceritakan.

Aku tahu, Yanti pasti menangkap sinyal kebohonganku saat teman-teman yang lain bertanya kenapa mataku bengkak dan aku menjawab dengan jawaban template seperti biasanya, “Semalam habis nonton drama yang sedih banget, nih!" Meskipun begitu, Yanti tidak mendesakku untuk menceritakan yang sebenarnya.

“Surat persetujuan punyamu udah dikumpulin?” Aku bertanya pada Yanti setelah memintanya untuk mengoreksi lirik lagu yang kunyanyikan, sebuah lagu dari seorang penyanyi bernama Omar Rudberg yang akhir-akhir ini merajai playlist-ku, judulnya lagunya adalah “It Takes A Fool To Remain Sane.”

Yanti meletakkan notebook milikku di atas meja dengan sedikit bantingan, “Oh iya! Ngumpulin terakhir hari ini, ya?” Aku mengangguk, belum sempat mengatakan apa-apa lagi karena Yanti segera berlari menuju ke kelasnya. Tak lama kemudian, Yanti kembali lagi ke kelasku tapi hanya berdiri di depan pintu dengan napas terengah-engah, “Temenin ngumpulin ke ruang guru, yuk! Si Bima ketua kelas sialan itu udah ngumpulin punya yang lain! Mampus, Bu Siti pasti ngomelin aku nanti.” Aku tersenyum, dengan senang hati akan menyanggupi permintaan dari sahabatku. Seperti yang selama ini selalu ia lakukan untukku.

Kakiku mengayuh sepeda dengan kecepatan pelan, menikmati hembusan angin dan pemandangan di sepanjang jalan yang didominasi oleh pedagang kaki lima, gedung-gedung pencakar langit, kendaraan yang tak berani mengabaikan aturan lalu lintas karena takut ditilang, orang-orang dari berbagai usia yang berlalu lalang, dan sesekali taman-taman di sekitaran kota yang tertata rapi.

Kucing-kucing jalanan mengais tempat sampah untuk menemukan makanan yang bisa mengganjal perut mereka, berebut dengan manusia yang juga tidak memiliki cukup rezeki untuk membeli asupan yang layak. Beberapa lainnya memikul karung berisi sampah yang masih bisa dijual, ada juga yang duduk di tepi jalan dengan pakaian lusuh menunggu iba dari orang lain untuk memasukkan pundi-pundi rupiah mereka ke dalam kaleng bekas susu yang sudah berkarat di hadapannya.

Semuanya seolah ingin memberitahu bahwa hidupku bukanlah yang paling menderita di dunia, banyak orang lain yang jauh lebih tidak beruntung dari aku. Semua orang punya ceritanya masing-masing, dan mereka tidak selalu membacanya secara lantang untuk didengar dunia.

Setelah jam istirahat pertama di sekolah berakhir hari ini, kami dipulangkan lebih awal karena sudah tidak ada kegiatan lain lagi yang harus diikuti. Jadi, di sinilah aku, menikmati perjalanan pulang yang sengaja kulambat-lambatkan sambil merenungi hidup karena aku tidak ingin cepat-cepat sampai di rumah.

Setelah melihat deretan bunga yang tersusun rapi di taman kota tadi, tiba-tiba saja aku berpikir ingin membeli bunga untuk menggantikan bunga di kamarku yang sudah hampir layu. Dengan alasan itu, aku menepikan sepedaku di depan Toko Bunga Irene yang memamerkan berbagai jenis bunga cantik dengan bau semerbak yang menenangkan memenuhi setiap sudut tempat itu.

“Kak Irene, saya mau tulip putihnya satu.” Dengan cekatan, Irene, florist sekaligus pemilik toko itu langsung menyiapkan pesananku. Setelah memastikan batang tulip diberi kain basah dan dibungkus plastik, dia memberikannya padaku dengan senyum manis, “Tiga puluh ribu kan, Kak?” Tanyaku untuk memastikan karena aku sudah pernah beberapa kali membeli bunga tulip di toko ini sebelumnya.

Kak Irene menggeleng masih dengan senyum manisnya, “Nggak usah, Dek. Bawa aja.”

Dahiku mengernyit. Aku tidak salah dengar, kan?

“Nggak usah bayar, Dek. Kamu bawa aja bunganya.” Kak Irene mengulangi ucapannya dengan lebih jelas seolah mengerti akan kebingungan pada raut wajahku. Setelah yakin aku tidak salah dengar, aku segera berterima kasih padanya, “Ya ampun, Kak! Makasih banyak, ya! Makasih, Kak!”

Meski masih sedikit bingung, aku pun meninggalkan toko itu dengan senyum merekah dan suasana hati yang jauh lebih baik, dalam hati aku mendoakan agar Kak Irene selalu sehat dan bahagia. Mungkin suatu saat nanti aku bisa membalas kebaikannya karena telah membantu mewarnai hariku yang suram hari ini.

Setelah melanjutkan perjalananku dengan bunga tulip yang kuletakkan di keranjang depan sepedaku dan masih dengan melambat-lambatkan kecepatan kendaraan roda dua itu, akhirnya aku sampai di rumah. Namun, aku berhenti di depan pagar karena ada sesuatu yang membuat kedua alisku bertemu.

Pada pagar rumahku, kini berkibar dua buah bendera kuning yang tertiup angin, aku melihat keadaan halaman rumahku yang ramai dipenuhi oleh tetangga-tetanggaku dan banyak orang asing lainnya yang tidak kukenal. Kepanikan mulai menyergap setiap sel dalam tubuhku karena aku berpikir bahwa seseorang, salah satu anggota keluarga kecilku yang tidak begitu kucintai, ada yang meninggal.

Saat aku melihat Arum, tetangga yang rumahnya tepat di sebelah rumahku dan usianya lebih muda dua tahun dariku, berjalan terburu-buru membawa sebuah baskom berukuran sedang yang ditutupi kain menuju rumahku, aku segera memanggilnya tapi tak digubris. Kuletakkan sembarangan sepedaku pada pagar rumah sebelum kemudian berlari menyusul Arum masih dengan menyerukan namanya, tapi anak itu tetap tidak merespon, seolah ia tidak mendengarku. Setelah jarak kami cukup dekat, aku menjulurkan tangan untuk menyentuh pundak Arum dan apa yang terjadi berikutnya lantas membuatku melotot ketakutan.

Tidak bisa. Aku tidak bisa menyentuh tubuh Arum.

Setelah beberapa saat mematung memandangi tanganku yang terlihat transparan setiap sepersekian detik, aku menggeleng-gelengkan kepalaku, “Nggk… nggak! Nggak! Nggak!” Aku berteriak sambil berlari menuju kamarku melewati kerumunan orang dengan mudah karena tubuhku dapat menembus tubuh mereka.

Terdengar suara tangis ibu yang meraung-raung dari dalam kamarnya, beberapa orang sepertinya tengah menenangkannya, memintanya untuk bersabar dan tetap tabah. Aku juga berpapasan dengan adikku yang membawa satu plastik bunga tujuh rupa dan sebuah gayung baru dengan mata sembab meski ekspresi wajahnya tak menunjukkan apapun.

Ayah, dengan dibantu beberapa warga lain, terlihat menyiapkan lembaran kain kafan yang disusun di tengah-tengah lantai ruang tamu yang kursi dan mejanya sudah dipindahkan. Matanya terlihat merah.

Sesampainya di depan pintu kamar, aku kembali mematung karena di atas ranjang tempatku terlelap memeluk Camelia semalam, kini terbaring tubuhku sendiri yang sudah kaku dengan noda darah mengering mengotori kain seprai berwarna kuning dan lantai keramik putih di bawahnya, bahkan tetesan darah juga mengotori meja dan kursi belajarku. Sebuah tali tambang menggantung pada langit-langit kamarku yang belum diberi plafon, posisinya tepat di depan meja belajar yang letaknya berada di sebelah kasur.

Nenekku menangis dengan suara menyayat hati memeluk tubuhku yang sudah tidak berdaya itu sebelum akhirnya dipisahkan oleh seorang Ustadzah untuk dibawa ke ruangan lain. Setelahnya, tubuhku ditutup kain jarik batik yang umurnya lebih tua dariku, kain itu juga adalah kain yang sama yang membungkus tubuhku saat aku terlahir ke dunia 17 tahun silam menurut cerita yang kuingat dari ibu semasa aku kecil dulu.

Hujaman ingatan kemudian menyerang kepalaku seperti film yang dipercepat menjadi sepuluh kali lipat.

Semalam, aku tidak menangis hingga tertidur memeluk Camelia. Yang sebenarnya terjadi adalah aku menyiapkan tali tambang dan menggantungnya pada langit-langit kamar sebelum mengiris nadiku dengan cutter kemudian menggantung diriku pada tali tambang itu hingga meregang nyawa.

Semua yang kulalui hari ini ternyata hanyalah harapanku sendiri. Sebuah harapan untuk tetap hidup seperti biasanya, memberi makan Camelia, berangkat sekolah naik sepeda, mampir di warung gorengan Bu Asih dan Pak Hanif, makan gorengan di lorong ujung perpustakaan skolah sambil memandangi kebun sayur, menghapal lirik lagu dan meminta Yanti mengoreksi hapalanku saat aku menyanyikannya, kemudian membeli bunga baru ketika bunga di kamarku sudah mulai layu.

Tapi semua itu sudah tidak bisa kulakukan lagi.

Karena aku sudah mati.

— felinecie; Jan 28, 2024

--

--