#PekanHalloweengs — Mripat

felinecie
4 min read1 hour ago

--

Hari Ke-1: MATA

https://unsplash.com/@freestocks

Kakak pernah berkata, “Jika kau mendengar suara ketukan ketika waktu merayap dini hari, cepat-cepatlah kau sembunyi dalam selimut! Jangan pernah berpikir untuk mengintip atau matamu akan dicongkel oleh Mripat!”

Menurut cerita Mbah Kakung, Mripat¹ adalah makhluk kegelapan yang terlahir dari dosa mata manusia. Mereka yang menyaksikan sesama dalam kesulitan tetapi abai, mereka yang menjadi saksi kecurangan tapi bungkam, dan mereka yang sehari-hari menggunakan penglihatannya untuk memenuhi birahi selangkangan.

Mbah Kakung tidak pernah menjelaskan kenapa Mripat tak hanya mengganggu mereka yang menjadi kunci utama ia terlahir, tetapi orang-orang yang tidak berkaitan pun ikut merasakan terornya. Ayah dari mendiang ibuku itu tidak pernah membeberkan pula bagaimana rupa makhluk kegelapan tersebut. “Kowe ora perlu reti, Nduk,”² adalah alasan yang ia berikan.

Saat kecil dulu, ketika sepertiga malam tiba bersama ketukan samar yang mengelilingi rumah dengan irama berantakan, Kakak dengan sigap akan memelukku di bawah selimut. Napas hangatnya yang diburu cemas menempa keningku hingga membuat anak-anak rambut berlarian. Detak jantungnya sarat akan panik, aku mendengarnya begitu jelas karena telingaku sangat dekat dengan dadanya.

Aku sendiri tidak pernah melihat bagaimana wujud Mripat. Karena itu, aku pun tidak mengerti akan rasa takut Kakak pada makhluk tersebut. Ia selalu berteriak histeris dan mengacak rambutnya setiap kali aku menyinggung perihal rupa Mripat, meskipun saat itu — dan beberapa kesempatan selanjutnya — sudah kupastikan untuk mencari terang yang terik sebelum mengajukan pertanyaan, dengan harapan Kakak tidak takut bercerita.

Nihil. Tak peduli kapan pun waktunya, Kakak pasti histeris dan aku berakhir mendapat wejangan dari Mbah Kakung. “Ora usah ngeriweuhi Yu-mu. Awakmu kuwi lek wis diandani nggugu ngono lho, Nduk. Ora usah mbrengkel.”³

Tapi, saat itu aku hanyalah seorang bocah 8 tahun yang penuh akan rasa penasaran. Aku ingin tahu semenyeramkan apa Mripat hingga membuat kakakku yang sudah berumur 15 tahun kala itu terus-terusan dihantui rasa takut.

Pernah sekali, aku sengaja menunggu teman-teman mainku pulang sekolah di gerbang gedung belajar mereka demi segera bertanya, “Apakah kalian tahu bagaimana rupa Mripat?” tapi aku malah mendapat jawaban berupa pertanyaan bingung. “Apa itu Mripat? Ini pertama kalinya kami mendengar tentang Mripat.”

Aneh sekali. Dari semua teman mainku yang berjumlah 6 orang, tidak ada satu pun yang familier perihal Mripat. Bahkan, setelah aku minta tolong pada mereka untuk bertanya pada orang tua atau kakek dan nenek masing-masing, mereka juga sama sekali asing dengan makhluk itu.

Ingin rasanya aku bertanya pada Mbah Kakung, “Kung, kok konco-koncoku ora enek sing reti Mripat yo …,”⁴ tapi pada saat bersamaan, aku tidak mau diberi wejangan lagi. Jika bertanya pada Kakak, itu sama saja cari mati.

Umurku telah menginjak kepala dua beberapa hari yang lalu dan aku tetap tidak tahu bagaimana rupa Mripat. Kakak masih ketakutan setiap saat walaupun ketukan-ketukan aneh pada sepertiga malam sudah jarang kami dengar lagi, ia menghabiskan hari-harinya dengan mengurung diri di dalam kamar.

Mbah Kakung yang surainya semakin perak menghampiriku dengan semangkok sup mata ikan. Meskipun sudah berumur dan tulang belakangnya kian membungkuk, ia selalu menyajikan olahan kesukaanku tersebut untuk menyambutku pulang kerja. Berkali-kali aku meminta Mbah Kakung untuk istirahat saja tapi berkali-kali pula orang tua itu menolak.

Menurutku, masakan Mbah Kakung tidak ada tandingannya, bahkan lebih lezat dibandingkan masakan Mbah Putri atau ibuku sendiri ketika mereka masih hidup. Sedangkan mendiang ayahku … pria itu hanya tau cara mengacau dapur.

Pada awalnya, Kakak juga begitu menyukai sup mata ikan buatan Mbah Kakung. Tapi, entah karena bosan atau apa, tiba-tiba saja ia tidak mau lagi menyantapnya. Bahkan, masakan lain dari Mbah Kakung pun enggan ia sentuh. Hingga detik ini, hanya makanan yang dibeli dari luar yang berhasil masuk mengisi perut Kakak.

“Gek ndang madang, Nduk. Ndang resik-resik, ndang turu.”

Seperti malam-malam sebelumnya setelah aku mendapat pekerjaan dan berhasil membeli ponsel pintar, kusantap sup mata ikan buatan Mbah Kakung yang kaya akan rempah wangi dan gurih itu sambil menonton berita terbaru dalam format video pendek di media sosial.

Dokter Forensik dari Rumah Sakit Cermin Raya yang melakukan otopsi telah mengkonfirmasi bahwa jasad pria kali ini kehilangan kedua bola mata serta alat kelamin. Penyebab kematiannya adalah pukulan benda tumpul di kepala.

Ia teridentifikasi sebagai H, si preman pasar Gluduk, yang dikenal sering mengamati dan menggoda perempuan dengan kata-kata seksual.

Kasus ini menambah panjang daftar pembunuhan berantai yang selama belasan tahun terakhir masih belum berhasil diungkap siapa pelakunya.

Aku mendengus setelah narator dalam video selesai menyampaikan beritanya. Tak peduli sekejam apa hal ini terdengar, tapi orang-orang seperti preman pasar itu memang pantas mati. Siapa pun pembunuh berantai di balik semua kasus yang terjadi, aku ingin berterima kasih banyak padanya.

Kulanjutkan lagi kegiatanku menonton video pendek hingga sup mata ikan buatan Mbah Kakung raib dari cekung mangkok.

¹ Bahasa Jawa: Mata

² Bahasa Jawa: "Kau tidak perlu tahu, Nak (perempuan)."

³ Bahasa Jawa: "Jangan merepotkan kakakmu (perempuan), menurutlah jika kau diberitahu (oleh orang yang lebih tua). Jangan membangkang."

⁴ Bahasa Jawa: "Kakek, kok teman-temanku tidak ada yang tahu tentang Mripat ya …,"

⁵ Bahasa Jawa: "Cepat makan, Nak (perempuan). Cepat bersih-bersih, cepat tidur."

Cerita ini adalah bagian dari tantangan menulis #PekanHalloweengs dari Gilda Sastra di Twitter/X

--

--