Katrinka memandang tanpa berkedip kerumunan anak-anak yang terlihat ceria menikmati nasi uduk dengan lauk telur gulung yang diberi kecap manis dan irisan bawang goreng. Tubuh-tubuh kecil itu duduk rapi memenuhi tepian ruangan persegi panjang dengan berbagai macam jajanan jadul yang berjejer dalam piring-piring kaca hadiah sabun pencuci baju di tengah-tengah ruangan.
Satu-satunya orang dewasa yang berada di sana adalah ibunya. Benar, kenapa ada ibunya di sana?
Oh, Bukan.
Kenapa Katrinka ada di sini? Di pesta ulang tahunnya yang ke-10. Pesta terakhir sebelum kedua orang tuanya membuangnya ke rumah nenek dengan alibi ‘menitipkan’ ia di sana.
Bukankah seharusnya hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-20? Seingat Katrinka hal terakhir yang ia lakukan setelah pulang kerja adalah memberi makan Violet, kucing hitam kesayangannya, kemudian membuka jurnal yang telah lama ia abaikan untuk sedikit menuliskan tentang apa yang ia rasakan.
Katrinka berdiri di ambang pintu rumah lamanya tanpa ada yang menyadari, ia mengangkat tangan kanannya yang ternyata tengah menggenggam jurnal hitam miliknya. Kedua alisnya menukik, hampir bertemu pada pertengahan kening.
Apakah dia sedang bermimpi? Apakah hal ini merupakan respon yang dibuat oleh alam bawah sadarnya? Karena Katrinka pun mengakui bahwa dirinya sendiri masih sesekali rindu akan masa-masa di mana ia begitu bersemangat menyambut hari ulang tahunnya.
“Aku sayang banget sama Ibu.”
Katrinka menatap gadis kecil yang kini memeluk ibunya dengan senyum merekah. Dia adalah dirinya, gadis bodoh yang tidak tahu bahwa orang tua yang begitu ia cintai itu akan membuangnya kurang dari 24 jam sejak pesta ulang tahunnya berakhir.
Betapa Katrinka ingin menyadarkan gadis bodoh itu.
“Ibu juga sayang sama Ika.”
Pembual.
Katrinka membaca kembali rangkaian kata dari goresan pena yang diukir oleh tangannya di atas salah satu lembaran jurnal beberapa saat lalu. Di sana terdapat sepenggal kalimat yang berbunyi, “Aku rindu suasana pesta ulang tahun terakhir itu. Aku rindu.”
Segera saja Katrinka merobek halaman itu dan meremas penuh emosi kertas di dalam genggaman tangannya, melemparnya ke tengah-tengah ruangan.
Bola kertas itu lenyap sebelum sempat menyentuh lantai.
Emosinya masih menyala di ubun-ubun ketika ia merasakan sapuan rambut lembut yang tak asing di antara kedua betisnya. Benar saja, ada Violet yang berjalan bolak-balik di bawah sana.
Katrinka mengangkat tubuh Violet untuk ia dekap dalam pelukannya, berterima kasih karena makhluk berambut lembut itu selalu setia menemaninya.
Namun, sesuatu membuat gerakan Katrinka terhenti. Tiba-tiba saja ia sudah kembali ke dalam unit apartemennya. Jurnal bersampul hitam sudah tidak ada lagi di tangannya, begitu juga Violet. Keduanya sekarang berada di atas meja kerja dengan Violet duduk manis di sebelah jurnal.
Belum sempat Katrinka memproses apa yang sedang terjadi, hal lain yang tak disangka-sangka membuatnya mengambil dua langkah mundur.
"Nungguin apa, Kak? Ayo sini, tulis lagi!"
Violet berbicara bahasa manusia!
Katrinka sekarang benar-benar yakin bahwa dirinya sedang bermimpi. Semua ini terlalu tidak masuk akal, dan hal-hal yang tidak masuk akal biasanya terjadi di dalam mimpi.
Setelah menormalkan deru napas, Katrinka segera mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas mini yang berada di sebelah ranjang. Biasanya orang yang sedang bermimpi akan segera sadar ketika ia mengalami kejadian tertentu.
Katrinka pun langsung mengguyur dirinya dengan air dingin itu. Violet menatap Katrinka dengan ekspresi menghakimi, seolah ia ingin mengatai orang yang merawatnya itu bodoh.
Satu detik, dua detik, tiga detik.
"Kakak ngapain, sih? Kita gak punya banyak waktu, Kak! Cepetan ganti baju dan bersihin lantainya! Jadi basah semua gitu. Aduuuh."
Gawat! Katrinka belum tersadar dari mimpinya.
Violet berjalan mondar-mandir di atas meja, masih mengomel.
"Duh, kok malah bengong sih, Kak? Dibersihin, dong! Buruan! Kita gak punya banyak waktu!"
Katrinka berencana untuk mengambil botol air dingin kedua dan mengguyur dirinya lagi sampai dia sadar dari mimpi tidak masuk akal ini, tapi kedatangan Violet yang tiba-tiba turun dari meja untuk menghampirinya membuat Katrinka panik hingga tidak sengaja menjatuhkan gunting kuku yang ia letakkan di atas kulkas kemudian menginjaknya, membuat telapak kakinya diserang rasa sakit yang menjalar sampai ke otak.
Sebentar. Rasa sakit? Katrinka berpikir bukankah kita tidak bisa merasakan rasa sakit saat sedang bermimpi? Apa maksudnya ini?
"Kak, kita gak punya banyak waktu. Ayo tulis lagi!"
"Apa maksudnya, sih?!" Katrinka berteriak, kini ia terduduk di lantai memegangi kakinya.
"Kenapa kamu bisa ngomong?"
"Ini ada apa sebenarnya?"
Katrinka rasa dirinya sudah gila.
"Loh, kok tanya aku? Kan ini semua Kakak yang nyiptain."
"Hah?"
"Aduh, kebiasaan lupa mulu."
"Aku gak paham."
"Gak kaget lagi, sih. Udah biasa."
"Hah?"
"Pokoknya Kakak tulis lagi dulu, deh. Kita gak punya waktu banyak."
Violet melompat kembali ke atas meja kerja Katrinka dengan lihai. Kucing hitam itu kini membuka jurnal yang ada di atas sana bahkan membukakan penutup pena milik Katrinka.
"Ayo, Kak. Tulis lagi! Kita gak punya banyak waktu."
Dengan ragu Katrinka membawa langkahnya mendekati Violet. Kucing hitam yang ia sayangi itu sekarang terlihat mengerikan meski dengan wujud menggemaskan yang sama.
"Duduk, Kak. Ayo tulis! Kita gak punya banyak waktu."
Setelah mengambil pena yang disodorkan oleh Violet, Katrinka kini kebingungan memandangi halaman baru dalam jurnal di bawah halaman yang ia robek sebelumnya.
"Harus nulis apa?" Tanya Katrinka hampir berbisik.
"Ya, terserah."
Meskipun masih sedikit takut pada Violet yang tiba-tiba bisa bicara bahasa manusia, Katrinka juga merasa kesal dengan tanggapan kucing hitam itu. Bukankah dia yang ngotot sekali agar Katrinka menulis lagi di jurnal? Padahal Katrinka sedang tidak ingin menulis apapun. Dia hanya ingin segera keluar dari dunia aneh ini, tapi sekarang malah dipaksa menulis oleh kucingnya sendiri.
Dasar kucing.
"Aku ingin berkunjung ke kebun apel di tepi danau dan naik perahu."
Katrinka menulis asal-asalan karena tiba-tiba saja ia teringat akan kenangan masa kecilnya yang jauh dari kata indah saat orang tuanya tidak memberikan izin untuk ikut rekreasi yang diadakan sekolah. Dia ingat betapa irinya melihat foto teman-temannya memetik apel di kebun yang berada di tepi danau dan naik perahu setelahnya, lengkap dengan pelampung bersama abang-abang penjaga yang memastikan keselamatan mereka di sana.
"Udah, Kak?" Katrinka mengangguk kecil menanggapi Violet.
"Yaudah."
"Hah, gitu aja?"
"Iya."
Lalu sekarang apa? Apa maksud semua ini, sih? Katrinka hampir saja mengumpat saat ia menutup jurnalnya dengan kasar. Ketika ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Violet lagi, tiba-tiba saja pemandangan di sekitarnya sudah berubah menjadi hamparan luas kebun apel di tepi danau yang sudah siap panen dengan lantunan tawa anak-anak yang berlarian gembira mengenakan seragam olahraga mereka.
Ada dirinya sendiri yang berusia sekitar 8 tahun di antara anak-anak itu.
Katrinka senang melihat gadis kecil itu menikmati rangkaian kegiatannya di sana. Walaupun masih tak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi, Katrinka memilih untuk menyimpan dulu semua pertanyaannya.
Setelah anak-anak itu meninggalkan kebun apel, Katrinka kini kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia membaca ulang tulisannya di dalam jurnal sambil menimbang-nimbang apakah ia harus merobek halaman itu lagi seperti yang ia lakukan sebelumnya?
Seingatnya Violet baru muncul setelah ia merobek dan melemparkan kertas yang telah ia remas. Apakah kali ini akan seperti itu juga?
Dia kebingungan dan dia butuh Violet untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Katrinka pun akhirnya memilih untuk mencoba mengulangi apa yang ia lakukan sebelumnya.
Benar saja, setelah melempar bola kertas yang langsung menghilang sebelum sempat menyentuh tanah di kebun apel, Katrinka bisa merasakan kehadiran Violet di antara betisnya.
Langsung saja ia membungkuk dan mengangkat tubuh Violet. Namun, pemandangan yang menyambut indra penglihatannya setelah itu bukanlah unit apartemen seperti apa yang terjadi sebelumnya, melainkan sebuah ruangan dengan dinding dan lantai putih yang menyilaukan mata.
Katrinka juga menyadari posisi tubuhnya kini terbaring di sebuah ranjang dengan kedua pergelangan tangan dan kaki terikat pada sudut-sudutnya.
Violet pun tidak terlihat lagi batang hidungnya.
Katrinka kembali dibuat bingung, apakah dia masih berada di dunia aneh di mana Violet bisa berbicara bahasa manusia atau sekarang dia berada di dunia lain? Tempat apa ini? Kenapa dirinya diikat?
Seperti ada sebuah keinginan yang menyeruak, Katrinka merasa dia harus menangis dan berteriak.
"Arrghhh! Lepasin! Violet!"
Ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya begitu kuat, sendi-sendinya mungkin akan terlepas jika ia terus memberontak untuk memaksa melepaskan diri. Dia sadar dia menyakiti dirinya sendiri dan parahnya dia tidak bisa menghentikan hal itu.
Rasanya ada sebuah kesedihan mendalam yang membuatnya ingin terus memberontak dan menangis, Katrinka tidak mengerti dari mana asalnya perasaan itu.
Dia butuh Violet. Di mana kucing kesayangannya itu?
Sementara itu, di sebuah ruangan lain yang menampilkan rekaman CCTV secara langsung dari ruangan di mana Katrinka berada, dua orang perawat menatap layar monitor dengan sedih.
"Efek obatnya sudah hilang lagi secepat itu?"
"Iya. Cepat sekali ya, Bu? Apa ditambah lagi saja dosisnya?"
"Kita tunggu instruksi dulu."
"Kasihan sekali ya gadis muda itu. Kehilangan seluruh anggota keluarganya sekaligus kucing yang dia sayangi sampai berpikir dia tidak seharusnya selamat."
"Saya harap dia bisa sembuh, tidak tega rasanya melihat dia seolah asyik berpesta setiap kali diberi obat penenang."
"Saya harap juga begitu."
"AND...CUT!"
Setelah Clapperboard diketuk, semua kru di balik kamera bersorak ria.
"That's a wrap! Terima kasih semuanya! Terima kasih!"
[THE END]
Cerpen ini aku published pertama kali untuk event #PestaCerpen2024 oleh GWP ID pada bulan Maret 2024 lalu dan sekarang sudah aku unpublished dari web GWP ID karena aku kecewa dengan sikap Gramedia.