• a short story — Damar yang Gelap

felinecie
9 min readAug 23, 2024

--

“Kalian itu hidup dari rakyat! Rakyat itu ada! Dengarkan suara rakyat!”

Indonesia — Kamis, 22 Agustus 2024

Sekali lagi kuperiksa dengan teliti perbekalan yang akan kubawa untuk aksi unjuk rasa penolakan revisi UU Pilkada hari ini. Merdunya suara ibuku yang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an sejak bapak berangkat bekerja subuh tadi masih terdengar dari dalam kamarnya. Tak dapat dipungkiri, hal itu membuat jantungku berdetak semakin acak-acakan, menyatu bersama amarah yang menyesakkan kepala.

Tak lama setelah aku memasukkan semua perbekalan ke dalam tas serut, pintu rumahku diketuk. Dua orang sahabat yang sudah kukenal sejak aku belum bisa merangkai kata sudah datang, mereka akan ikut beraksi bersamaku hari ini.

"Tunggu bentar. Gue pamitan dulu," ujarku setelah membukakan pintu dan mendapati keduanya tengah duduk di atas kursi teras panjang sembari merokok.

Segera saja aku mengetuk pintu kamar ibu hingga membuat wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh menghampiriku sembari berseru, "Damar, anakku!"

"Kamu udah mau berangkat, Nak? Udah diperiksa lagi apa-apa aja yang harus dibawa? Nggak ada yang ketinggalan?" Ibu menggenggam kedua tanganku erat-erat, kekhawatiran tergambar jelas di atas wajah keriputnya. Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum untuk sedikit meredam gelisah wanita yang telah melahirkanku itu, "Iya, Bu. Ali sama Evan udah nunggu di luar. Damar pamit ya, Bu."

"Ya Allah… jaga diri baik-baik ya, Nak. Doa ibu selalu menyertai kamu dan teman-teman yang lain."

Kini aku balas menggenggam erat tangan ibuku, kutatap matanya yang berkaca-kaca. "Makasih, Bu. Damar bakal berusaha buat jaga diri sebaik-baiknya. Damar percaya sama kekuatan doa ibu."

"Tapi, Bu… kalau memang Damar nanti nggak diizinkan untuk bisa pulang lagi, tolong diikhlaskan, ya." Air mata ibuku tumpah ruah membasahi mukenanya. Setelah kedua sahabatku ikut berpamitan pada ibu, kami meninggalkan rumah dengan pundak berat sekaligus hati yang membara.

Bukankah sangat lucu saat dipikirkan kembali? Aku malah harus merasa was-was karena takut tidak bisa kembali pulang setelah terjun ke jalanan demi menuntut keadilan dan hak sebagai warga negara yang seharusnya wajib diberikan tanpa diminta jika bukan karena tikus-tikus culas dan tak tahu malu yang menduduki kursi pemerintahan itu.

Sungguh, aku tidak ridho seandainya skenario terburuk membuatku harus meninggalkan keluargaku selamanya di usia muda ini. Namun, aku lebih tidak ridho jika harus diam saja melihat iblis-iblis itu dengan seenak pantatnya mengobrak-abrik negara bukan atas dasar kebaikan bersama melainkan demi memuaskan birahinya sendiri.

Biarlah aku maju dan mati melawan negaraku sendiri dibandingkan harus hidup berpuluh-puluh tahun selanjutnya dalam penyesalan dan duka karena membiarkan si tamak berhasil melancarkan kebusukannya.

Jarak antara rumahku dan pusat aksi unjuk rasa terbilang cukup jauh jika harus ditempuh dengan berjalan kaki, aku dan dua sahabatku pun setuju untuk memesan taksi online. Kami sampai di sana dalam 18 menit yang penuh obrolan panas bersama Pak Sopir terkait topik yang mendasari demontrasi kali ini.

"Ini, Pak. Makasih banyak, ya. Kembaliannya simpan aja," aku menyodorkan uang yang nominalnya sedikit lebih banyak dari total ongkos di aplikasi.

"Udah, udah! Jangan bayar, Mas. Gratis. Saya titip ini aja buat dipake bareng yang lain. Titip makasih yang sebanyak-banyaknya juga karena udah mau berjuang demi keadilan di negeri ini." Aku masih kebingungan saat Pak Sopir menolak uang yang kuberikan dan malah menyodorkan dua bungkus tisu kering yang masing-masing berisi 250 lembar kepadaku.

"Hah? Ini beneran, Pak?" Salah satu sahabatku, Ali, bertanya dengan raut wajah yang sama bingungnya denganku.

"Iya, Mas. Jangan bayar, ini tisunya dibawa aja. Maaf, saya belum bisa bantu terjun dan cuma bisa bantu ini."

"Mashaallah… makasih banyak, Pak! Ini udah membantu banget kok, Pak. Makasih banyak. Semoga rezeki bapak mengalir terus ya, Pak."

"Amen! Makasih banyak, Mas. Jaga diri di luar sana, Tuhan akan selalu memberkati kalian." Kami bertiga keluar dari mobil taksi itu dengan semangat yang kian membumbung tinggi setelah mendapat suntikan kebajikan dari Pak Sopir. Lega rasanya karena aku tahu bahwa masih ada begitu banyak orang-orang berhati mulia di sekitarku meskipun sekarang negara ini tak ubahnya lelucon belaka.

Mentari perlahan mengintip dari ufuk timur, wajah-wajah dari berbagai elemen masyarakat yang menyimpan amarah dan semangat berjuang berjejer memenuhi jalanan. Beberapa tengah khusyuk menikmati sarapannya, yang lain sibuk mengecek printilan-printilan pendukung aksinya.

Ketika hangat dari pancaran matahari mulai meraba kulit, deretan ambulans dan mobil-mobil pribadi lain yang dialihfungsikan sementara sebagai ambulans mulai berdatangan dan terparkir mengular, siap untuk menolong siapapun yang nantinya mungkin akan terluka saat aksi berlangsung.

Semakin terang bumi hari ini, semakin banyak pula orang-orang yang berdatangan membentuk lautan manusia. Mahasiswa dengan jas almamater warna-warninya, pelajar, buruh, warga biasa hingga publik figur, semuanya berdengung bak lebah untuk menyemangati satu sama lain.

Aku melebarkan kertas karton berisi protesku kepada badut-badut pemerintahan yang berbunyi, “PERATURAN NEGARA BUKAN KONDOM YANG BISA SEGAMPANG ITU LO UBAH-UBAH NYESUAIIN BENTUK KONTOL.”

Rombongan demonstran mulai menyanyikan lagu kebangsaan. Aku berusaha mengikuti dengan suara terlantang yang bisa kuteriakkan.

"Jangan kira saya berdiri di sini itu lucu! Lebih lucuan yang ada di dalam sana!"

"Keputusan MK untuk menjaga demokrasi masih saja dijegal oleh lembaga yang katanya wakil rakyat!"

"Huuuuuu!"

"Rakyat itu ada!"

"Dengarkan suara rakyat!"

"Kami tidak akan mundur!"

"Kami ini belum merdeka!"

"Kami menolak revisi undang-undang Pilkada!"

"Jangan ditunda! Batalkan!"

"Kami akan terus bersuara sampai menang!"

"Mulyonooo! Mulyono!"

"Kami menolak politik dinasti!"

"Kalian itu hidup dari rakyat!"

"Dengarkan suara rakyat!"

"Dengarkan suara rakyat!"

"Dengarkan suara rakyat!"

"Agak laen kau! Agak laen bapakmu! Agak laen kau sekeluarga!"

Terik matahari yang membakar ubun-ubun kepala semakin menyalakan semangat para demonstran untuk meninggikan suaranya, memastikan agar aspirasinya tersampaikan.

Aku mengamati keadaan di sekitar. Ada penjual makanan dan minuman yang tersenyum begitu tulus saat membagikan dagangannya secara cuma-cuma, teman-teman dari berbagai latar belakang berbeda yang kini bermandikan peluh namun tetap lantang, hingga mereka yang sengaja datang membawa amanah dari ribuan orang yang tak berkesempatan untuk mengikuti unjuk rasa ini dalam bentuk pengganjal lapar dan penyegar dahaga gratis, bahkan sampai membiayai penanganan medis lanjutan di rumah sakit.

Sekali lagi, rasanya begitu lega karena aku tahu masih ada banyak sekali orang-orang berhati mulia di sekitarku meskipun sekarang negara ini tak ubahnya lelucon belaka.

Aku berdoa di dalam hati untuk keselamatan dan kemakmuran orang-orang baik ini.

Kericuhan mulai pecah antara demonstran dan aparat kepolisian yang bertugas menjaga keamanan seiring dengan tergelincirnya matahari. Aku mengerti bahwa semuanya pasti lelah setelah sepanjang hari berjibaku di bawah panas dalam usaha untuk menyampaikan pikiran rakyat, tak terkecuali para petugas yang dikerahkan untuk memastikan semuanya aman terkendali.

Namun, pantaskah segerombol polisi dalam balutan seragam bersenjata yang pastinya dibuat menggunakan uang rakyat dan digaji pula dengan uang rakyat, serta tugasnya yang seharusnya hanya menjaga ketertiban dalam aksi ini, tiba-tiba menggunakan kekerasan pada mereka yang tangannya kosong?

Ke mana kita harus melapor saat polisi saja membunuh masyarakatnya sendiri?

Kendati telah mengetahui bahwa pada akhirnya sejarah ini pasti akan terulang seperti apa yang terjadi pada aksi-aksi unjuk rasa terdahulu, aku tetap geram melihat teman-teman seperjuanganku diperlakukan bak binatang seperti itu.

Mereka dikejar, dikeroyok, diseret, dipukuli.

Apakah prosedur mengamankan dan menjaga ketertiban dari aksi unjuk rasa dalam kamus para polisi itu termasuk percobaan pembunuhan pada rakyatnya sendiri?

Semakin aku mencoba untuk berpikir rasional semakin aku diingatkan akan sebuah kenyataan bahwa… oh iya, benar. Negeri ini sudah sekacau itu—atau memang selalu sekacau itu sejak dahulu?—hingga tindakan gila seperti ini pun rasanya diwajarkan saja.

Kerumunan pejuang di sekitarku bubar dengan segala umpatan akibat melihat ganasnya tindakan aparat kepolisian. Mereka yang berani mencoba untuk membantu otomatis akan menjadi korban berikutnya.

Aku sudah bersiap untuk membuang semua akal sehatku dan akan melemparkan diriku sendiri pada kandang singa itu demi menolong seorang pemuda yang masih dipukuli, tapi lenganku tiba-tiba saja ditarik oleh Ali.

"Damar! Lari dulu! Mundur! Lari dulu!"

Gas air mata dilepaskan tak berselang lama setelah Ali memaksaku berlari menjauh, membuatku mau tak mau terseok-seok mengikutinya.

Rasa bersalah lantas menyeliputi hatiku karena telah meninggalkan si pemuda. Namun, aku mulai berpikir, apa yang bisa kulakukan pada situasi seperti itu? Apakah aku benar-benar bisa menolongnya? Atau pada akhirnya malah babak belur, ditangkap, dan skenario terburuknya adalah menjemput kematian?

Dari tempat persembunyianku bersama Ali dan pejuang lain, aku hanya bisa mendoakan keselamatan dari pemuda yang dianiaya itu, juga mereka semua yang mendapatkan perlakuan serupa.

Setelah beberapa saat, aku baru menyadari sesuatu. Mataku melotot menatap Ali. "Li! Evan mana?!"

Lima menit berikutnya aku dan Ali sibuk menghubungi ponsel Evan. Panggilan kami tersambung, tapi Evan tak kunjung mengangkatnya.

Aku terus-terusan merapalkan doa, berharap bahwa Evan hanya terpisah dari kami saat kericuhan memuncak dan kini sudah berada di tempat yang aman bersama pejuang lain. Mungkin dia tidak sadar kami menelponnya.

Namun, tipikal manusia, aku juga tidak bisa menghentikan pikiranku untuk tidak menciptakan kemungkinan-kemungkinan terburuk.

"Gimana?" Ali menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala.

"Anjing!" Umpatku karena isi pikiranku semakin riuh.

Kami memutuskan untuk segera bergerak lagi, mencari tempat yang jaringan internetnya lebih stabil. Amarahku sekarang semakin berkobar, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Evan, tapi yang pasti aku tidak akan tinggal diam.

Tiga puluh menit pun berlalu sejak aku bersama Ali mencari keberadaan Evan, bertanya ke sana ke sini dan memberikan ciri-ciri Evan kepada para pejuang lain yang mungkin saja berpapasan dengan sahabatku itu. Sayangnya misi kami masih belum membuahkan hasil.

Pada detik itu pula, lagu kebangsaan, Indonesia Raya, terdengar dikumandangkan oleh kelompok pejuang dari sisi berseberangan yang segera diikuti oleh para pejuang lain di sisiku. Mataku berkaca-kaca sembari ikut bernyanyi.

Negaraku.

Kenapa negaraku seperti ini?

Jika saja semua pemimpin bisa amanah dan waras pikiran dalam menjalankan tugasnya. Aksi seperti ini mungkin saja tidak akan pernah terjadi.

Ya Allah, kami di sini hanya untuk memperjuangkan hak agar tidak diinjak-injak seenaknya demi kepentingan pribadi dari para penguasa dzalim itu.

Lindungilah kami.

Setelah selesai menyanyikan lagu kebangsaan bersama para pejuang lain, aku dan Ali kembali melanjutkan agenda kami untuk menemukan Evan. Dari kejauhan aku melihat seorang polisi melakukan fist-bump dengan beberapa mahasiswa, samar-samar aku mendengar polisi tersebut berkata, "Tolong sampaikan aspirasi kami. Kami juga ingin ikut demo, tapi terhalang seragam."

Tuhan, jika saja polisi dengan pikiran waras seperti beliau bukan hanya sebatas oknum di negeri ini.

Aku segera meminta tolong lewat sosial media saat mendapatkan jaringan internet yang cukup kuat untuk mengunggah foto Evan. Dan rupanya hal itu adalah sebuah keputusan yang tepat karena kurang 20 menit kemudian, seseorang menghubungiku.

Rupanya Evan selamat dari kegilaan aparat kepolisian dan kini tengah mendapatkan penanganan medis untuk luka-luka ringannya di salah satu mobil ambulans yang berjaga. Ponsel dan beberapa perbekalannya terjatuh entah di mana saat ia berusaha melarikan diri karena ia lupa menutup ritsletingnya. Aku pun akhirnya bisa menarik napas paling lega hari ini.

Adzan maghrib berkumandang tak lama setelah aku dan Ali berhasil menemukan mobil ambulans di mana Evan berada. Kami memutuskan untuk segera pulang karena rencana awalnya memang seharusnya kami sudah kembali ke rumah sebelum maghrib. Kami berjalan melewati jalan tol bersama para pejuang lain yang juga memutuskan untuk menyudahi unjuk rasa mereka hari ini.

"Damar sampe kek orang linglung tau gak pas tau lo kepisah sama kita."

"Seriusan? Bisa linglung juga lo ternyata, Mar? Keren juga yak berarti gue, njayyy!"

"Apaan dah!"

Ketika aku dan dua sahabatku tengah membicarakan rangkaian kejadian yang kita alami hari ini, tiba-tiba saja langkah kaki para pejuang di belakang kami berubah menjadi lebih terburu-buru. Mereka berlari.

Beberapa polisi ternyata mengejar kami dengan mengendarai sepeda motor mereka.

Bajingan!

Apakah mereka tidak melihat bahwa kami sudah selesai dengan aksi hari ini dan sekarang hanya ingin pulang ke rumah? Kenapa mereka malah mengejar kami seperti ini?

Lagi-lagi aku lupa bahwa negara ini adalah lelucon.

"Anjing! Goblok!"

"Polisi goblok! Preman!"

Teriakan demi teriakan dari para pejuang di belakangku saling bersahut-sahutan mengumpati polisi yang berhasil menabrak dan melindas beberapa teman mereka dengan sepeda motor.

Darahku mendidih, tubuhku bergetar. Aku dan para pejuang ini bukan penjahat, bukan koruptor, bukan pembangkang konstitusi.

Aku tidak punya senjata apapun, aku datang untuk menyuarakan penolakan atas putusan yang semena-mena, untuk mendapatkan hak yang seharusnya tidak perlu diminta, bukan untuk berperang dengan polisi yang tugasnya mengayomi!

Demi Allah, aku tidak ridho dengan segala kekejian dan penghinaan ini.

Demi Allah, aku percaya Engkau tidak akan diam saja melihat kami diperlakukan seperti ini.

Demi Allah, ini mungkin terdengar kejam… tapi aku benar-benar menantikan azabmu jatuh pada keluarga Mulyono bin Widjiatno Notomihardjo.

Binasakan mereka!

Binasakan orang-orang yang menjilat dubur mereka!

Binasakan mereka!

Tidak ada satu pun dari mereka yang mendengarkan jeritan kami.

Tidak ada satu pun dari mereka yang melihat kobaran api di atas kepala kami.

Hanya gelap.

Kami hanyalah sekumpulan damar yang gelap di mata mereka.

Maka binasakanlah.

felinecie — Indonesia; 22 Agustus 2024

--

--