• a fanfiction — Enemies to "The One" ft Demon (Bang Chan/Reader)

felinecie
12 min readOct 13, 2024

--

Pagi ini kau terbangun di dalam sebuah ruangan asing yang menguar aroma lembab. Dengung obrolan bak segerombol lebah kaudengar samar dari luar, jauh dan tak jelas, entah apa yang dibicarakan suara-suara itu.

Setelah beberapa kali mengerjap, akhirnya kauingat bahwa semalam pikiranmu melayang direnggut alkohol, tumbang di atas meja mahoni dari kedai tempatmu singgah melepas penat perjalanan jauh. Tentu kau kebingungan tentang bagaimana ragamu berakhir di dalam ruangan ini.

Kepalamu berdenyut nyeri saat kaubawa beranjak dari ranjang, mendekati jendela kayu yang setengah terbuka dengan langkah hati-hati. Di luar sana, seluas bingkai matamu mencakup, daun kering berserakan membentuk matras berlapis, mengurai pada paling bawah dan terus tertimbun baru pada paling atas.

Manikmu menyapu dari kanan ke kiri, pemandangan yang kautemukan tetap serupa, kau pun menyimpulkan bahwa sekelilingmu adalah hutan belantara. Dahimu mengernyit saat jendela kayu yang setengah terbuka itu ternyata tak bisa kaulebarkan sepenuhnya, rantai berkarat membatasi leluasanya.

Setelah menilik ke bawah, bangunan di mana kakimu kini menapak rupanya cukup tinggi. Dinding melengkungnya tersusun dari bebatuan gunung yang mulai didekap lumut, entah berada di lantai berapa ruangan yang kautempati itu.

Tungkaimu lantas berputar untuk menuju satu-satunya pintu di sana. Panik segera menyergap begitu mendapati dirimu terkunci, atau sengaja dikunci. Skenario yang mendukung kemungkinan-kemungkinan dalam kepalamu kini berputar menambah cemas, kau mencoba untuk mendobrak pintu tersebut tetapi sia-sia. Seolah dirakit dari berlapis jati terbaik, pintu itu tak terusik sedikit pun.

Percakapan samar yang kautangkap sebelumnya berangsur sepi sejak kaukerahkan tenaga untuk membuat keributan. Sebagai ganti, tak lama setelahnya, terdengar irama langkah kaki dari sepatu prajurit kerajaan yang beradu dengan lantai. Kau yakin kau tidak salah menyimpulkan, suara itu sudah kauhapal di luar kepala, seperti punggung tanganmu sendiri.

Kau pun kelabakan menyusuri setiap sudut ruangan demi menemukan apa saja yang bisa dijadikan senjata. Destinasi langkah kaki itu adalah dirimu, kau yakin dan tidak bisa diam saja menunggu pemiliknya menampakkan batang hidung.

Sayang sekali, tak ada yang berguna di dalam ruangan itu, dan kalaupun ada, lengan kerempengmu tak kuasa menoleransi bobotnya. Satu-satunya benda yang dapat kaujunjung dan kaujadikan senjata adalah tumpukan kertas menguning yang disulam rambut bambu menjadi beberapa bagian sama tebal dan tinggi. Kauraih satu dari tumpukan paling atas dengan sebuah harapan, bisa menghantam wajah siapa pun yang akan datang itu hingga mimisan lalu kabur setelahnya.

“Sebaiknya kau duduk manis di dalam sana, wahai Pencuri! Tidak ada gunanya kau mencoba untuk menyergapku,” seru si pemilik langkah kaki yang saat ini berdiri tepat di balik pintu.

Apa-apaan ancaman itu? Apakah dia cenayang?

Meski bergetar, kauabaikan peringatan itu dengan memperkuat genggaman pada senjatamu, kuda-kuda kausiapkan di sebelah pintu yang penguncinya kini digeser.

Segera saja kauserang wajah pertama yang muncul bersama teriakan gerammu. “HIYAAAK!”

Sepasang manikmu sontak membulat karena dua hal. Pertama, seranganmu berhasil ditangkal oleh lengan berotot si pemilik langkah kaki tanpa kesulitan yang berarti. Kedua, kau benar bahwa dia adalah seorang prajurit kerajaan, tepatnya kerajaan Avenoir — tampak dari baju besinya — dan kau kebetulan mengenalnya.

“Chris?”

Kauturunkan senjatamu dengan dahi berkerut, bingung akan kehadiran seseorang yang begitu kaukenal dalam balutan kulit asing di hadapanmu. “Sssttt! Iya, ini aku,” Chris menjawab setengah berbisik.

“Apa yang kau lakukan di sini? Pakaianmu … apa-apaan — “ Belum sempat kau selesai bertanya, Chris menutup pintu setara bobot sapi itu menggunakan kakinya dengan kasar dan melotot ke arahmu. “Wahai Pencuri! Berani-beraninya kau mencoba untuk mencelakai seorang prajurit kerajaan!”

Meja bulat yang sempat terpikir ingin kaugunakan sebagai senjata tetapi segera kaueliminasi karena terlalu berat, digelempangkan begitu mudah oleh Chris.

Pemuda itu menoleh bergantian dari arah pintu lalu ke arahmu sembari jari telunjuknya ia rekatkan di atas bantalan bibir tebalnya. “Pencuri rendahan sepertimu seharusnya tahu cara bersikap!” Chris kembali berteriak sementara kau semakin kebingungan, setuju pula untuk tak bersuara.

“Tanpa kemurahan hati Yang Mulia Putri Ketiga, pastilah kau sudah membusuk bersama tikus di penjara bawah tanah dan bukannya mendapat kemewahan tempat tidur pribadi seperti ini, wahai Pencuri!” Lagi, Chris membuat kegaduhan dengan merobohkan apa saja yang bisa ia robohkan.

Pening akan tingkah putra tertua dari tetangga di sebelah rumahmu itu, kau pun memilih untuk duduk di atas ranjang dan menyimak pertunjukan solonya yang konyol hingga tuntas. Kabar baiknya, kau tidak perlu membuang waktu terlalu lama. Chris kehabisan objek untuk digulingkan di dalam ruangan yang tak seberapa besar itu.

Deru napasnya yang kemudian menyatu dengan sunyi dalam pori-pori udara membuatmu menangkap dengan jelas grasak-grusuk di luar sana. Kau melirik Chris untuk meminta konfirmasi dan segera mendapat anggukan.

Setelah memastikan keadaan aman, Chris buru-buru menghampirimu. “Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka menyadari penyamaranku,” lenganmu ditariknya tanpa aba-aba dan kau segera menepisnya.

“Kekacauan apa lagi yang kaulakukan kali ini, Chris? Dari mana kaudapatkan baju besi itu?”

“Honey.”

Kau membenci panggilan itu. Chris pernah bilang bahwa ia mempelajarinya dari para pedagang asing yang singgah untuk menukar barang bawaan mereka dengan hasil bumi kerajaan Avenoir. Meski artinya cukup bagus, yaitu semacam panggilan sayang untuk orang tercinta dan terkasih, rasanya begitu menjengkelkan saat mendengar kata itu terucap lewat lidah busuk Chris dan ditujukan kepadamu.

“Ini bukan waktu yang tepat untuk sesi interogasi. Ikuti aku jika kau mendamba lari dari sini bersama kepala yang masih menyatu dengan tubuh.”

“Apa — h-hei! “Chris memotong protesmu dengan mendorong ranjang di mana pantatmu berleha sehingga kau terpaksa bangkit. Mulutmu lalu menganga menyaksikan keberadaan sebuah pintu tersembunyi di bawah sana, usang dan berdebu.

“Apa ini? Pintu rahasia? Bagaimana kau bisa tahu tentang semua ini?” Chris hanya menjawab pertanyaanmu dengan senyum miring. Ia merogoh sesuatu dari bawah matras di atas ranjang yang ternyata dua tangkai obor tak beraturan, tampak buru-buru dan asal-asalan dalam proses pembuatannya.

Obor-obor itu segera Chris nyalakan menggunakan pemantik besi ciptaan seorang jenius yang belakangan ini tengah meroket popularitasnya. Tentu benda itu tidak murah, harganya mungkin setara menjadi babu lepas seumur hidup. Maka, mengingat sebuah fakta bahwa kondisi ekonomi Chris tidak jauh beda darimu, tanda tanya sontak berterbangan melihatnya memiliki pemantik tersebut.

Belum sempat kau mengajukan pertanyaan lain, pemuda itu lebih dulu berwarta, “Ingatlah, Honey. Ini bukan waktu yang tepat untuk sesi interogasi,” kemudian disodorkannya salah satu obor untuk kauambil alih.

Kau pun mendengus kesal tetapi tetap menurut. “Setiap kali aku bertemu denganmu, kesialan tak pernah lelah untuk membuntutiku,” kelakarmu bersungguh-sungguh. Namun, Chris menanggapi itu dengan cengiran bodohnya, seperti biasa.

“Aku juga mencintaimu, Honey!”

Lihat? Sungguh konyol pemuda itu.

“Kita hanya perlu mengikuti tangga tanah ini hingga bertemu ujungnya.”

Segera saja kau mengekor di belakang Chris menyusuri ruang gelap yang mungkin hanya selebar setengah rentang lengan. Aroma ampek di sana jauh lebih menggojlok perut dibandingkan lembab ruangan tempatmu terbangun sebelumnya.

Tangga rahasia itu meliuk-liuk mengikuti bentuk bangunan yang berdiri tinggi bak cawan raksasa.

“Sebenarnya, tempat apa ini?” Pertanyaanmu lantas membuat Chris berhenti di tempat. Jika pada momen tersebut kau telat sedetik saja mengikuti aksinya, rambut keriting pemuda itu mungkin sudah hangus tersulut lidah api dari obormu.

“Apakah begitu sulit untuk memberi peringatan sebelum kau berhenti tiba-tiba?”

“Sssttt!”

Kau memutar bola matamu dengan malas karena kau tahu, kegilaan lain dari Chris akan segera menyerang.

“Apa lagi sekarang?”

“Kau mendengarnya?”

“Mendengar apa?”

“Sebuah suara …, cacing-cacing dalam perutku kelaparan.”

Jika saja saat ini kau berada di dalam situasi normal, kau tidak akan ragu untuk benar-benar membakar rambut keriting Chris dengan obormu.

“Chris! Aku serius bertanya padamu!”

“Sssttt! Jangan terlalu menaikkan suara, mereka mungkin bisa mendengar kita.”

“Aku juga serius tentang cacing-cacingku yang kelaparan, ngomong-ngomong.”

Kaudorong bahu Chris untuk segera melanjutkan perjalanan, atau kau sedikit lagi kehilangan rasa sabar untuk tidak membuatnya tersungkur dan berguling-guling hingga ke dasar tangga.

“Hanya satu yang perlu kau tahu tentang tempat ini. Penjara ilusi.”

Jawaban Chris tidak membuat rasa penasaranmu tuntas sama sekali, malah menumpuk kian tinggi.

“Apakah kau tidak berniat untuk menjelaskan makna dari penjara ilusi ini?”

“Honey, sudah kubilang kau hanya perlu tahu satu itu saja. Toh, selanjutnya kau tidak akan ingat tentang semua yang terjadi di sini.”

Wajahmu kian kautekuk diberondong perasaan dongkol. Seharusnya Chris memang tidak usah menjawab pertanyaanmu sekalian jika tak sudi memberi seluruh kue di dalam loyang. Membiarkankanmu mencicipi secuil rasanya saja sungguh menjengkelkan.

“Kita sudah sampai.”

“Huh? Tapi anak tangganya belum habis. Di mana pintu keluarnya?”

Bukannya menjawab, Chris malah mengulurkan tangan dengan maksud agar kau meraihnya. “Untuk apa?”

“Kau tidak akan bisa pergi dari sini jika tidak menggenggam tanganku.”

Sungguh sebuah alasan yang konyol. Dan lebih konyol lagi tindakanmu, karena kau langsung menurut akibat terlalu malas untuk menduga-duga. Bisa saja Chris tengah membual untuk mengerjaimu seperti biasa, bisa juga dia serius. Dan ternyata, pernyataan kedua adalah jawaban yang benar.

Tak lebih lama dari semili detik setelah telapak tanganmu bertemu dengan telapak tangan Chris, tiba-tiba saja pemandangan yang menyelimuti sekitaranmu berubah menjadi terang benderang di tengah hamparan ilalang.

Obor di tanganmu telah padam apinya. Kau mendengar riak aliran sungai dan kicau burung bersahut-sahutan dibawa lari angin. Di sebelahmu, Chris masih menggenggam tanganmu dengan erat.

“Kau tidak kehilangan anggota tubuh apa pun, ‘kan?” adalah pertanyaan pertama yang diajukan pemuda itu. Ia mengambil alih obormu untuk digenggamnya dalam satu tangan bersama obor miliknya sendiri. Tangannya yang bebas mengangkat-angkat kedua tanganmu, diputarnya tubuhmu, diperiksa dengan teliti dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Syukurlah, semuanya lengkap,” serunya setelah beberapa saat sembari menghela napas lega.

“Apa yang baru saja terjadi, Chris?”

“Oh? Tidak ada apa-apa. Kau hanya ketiduran di kedai alkohol dan aku kebetulan menemukanmu. Kau tahu? Pemilik kedai sudah hampir menendangmu. Beruntungnya, aku tak sengaja melihatmu dan — “

“Dongeng apa yang sedang kau bicarakan? Aku bertanya, apa yang baru saja terjadi pada kita, Chris. Kenapa kita bisa berpindah dari tangga rahasia itu ke tempat ini?”

Mata Chris terbelalak, mulutnya menganga. “Kau — sebentar…,” obor di dalam genggamannya segera pemuda itu bungkus dengan hati-hati ke dalam sebuah kain lusuh yang ia sembunyikan di balik baju besi.

Setelah meletakkan alat penerangan tersebut ke atas tanah di antara rimbun ilalang, Chris lantas memegang masing-masing pundakmu dengan air muka kebingungan. “Bagaimana bisa?” tanyanya.

“Apa yang kau maksud?”

“Kau. Bagaimana bisa kau masih ingat tentang tangga rahasia?”

Kali ini kau juga ikut kebingungan mendapat pertanyaan seperti itu. Setelah menepis kedua tangan Chris pada pundakmu, kau menjawab, “Karena kita baru saja berada di sana dan tiba-tiba saja melesat ke sini dengan cara yang tidak masuk akal? Bagaimana aku bisa lupa akan kegilaan seperti itu, Chris?!”

Pemuda itu mengacak rambut di belakang kepalanya. Ia mulai bermonolog sambil berjalan mondar-mandir, “tidak mungkin, tidak mungkin, tidak ada yang pernah ingat setelah kuselamatkan dari dimensi ilusi,” ia berhenti dan menoleh untuk menatapmu lekat-lekat, “seharusnya kau tidak ingat,” sambungnya di akhir kalimat.

“Apa yang sedang kau gerutukan sekarang? Tidak bisakah kau menjelaskan padaku tentang kegilaan apa yang sedang terjadi, aku kebingungan!”

“Kau seharusnya tidak ingat.”

“Tapi aku ingat!”

“Benar ‘kan, Elyssa? Dia seharusnya tidak ingat.”

Dahimu mengernyit, siapa pula yang dimaksud dengan “Elyssa” oleh pemuda itu? Kau pun segera mengikuti arah pandang Chris yang fokus pada sebuah titik di balik punggungmu.

Selama ini kau selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang bisa dengan lugas berkata bahwa darahnya membeku akibat adrenalin yang terpacu rasa takut? Sekarang, kau mengerti sepenuhnya.

Pemandangan yang menyambut seketika kau membalikkan tubuh membuat segala sel persendianmu lunak. Darahmu bukan lagi terasa beku, melainkan terhisap oleh kengerian di depan wajah hingga rasanya tubuhmu kini kering kerontang.

Sosok itu tinggi dan besar, sekitar tiga kali lipat dari ukuran tubuh manusia dewasa. Warna kulitnya pucat pasi, ia melayang dengan sepasang sayap hitam yang mencuat dari punggung, mengepak pelan menyapukan angin sepoi-sepoi.

Terdapat sepasang tanduk asimetris di atas kepalanya. Surai panjang berwarna cokelat keemasan yang tergerai bebas menutupi keseluruhan dada hingga ke pinggang, terlihat mengkilau indah di bawah sinar matahari. Wajahnya pula tak kalah elok dengan taring kecil mengintip dari balik bibir. Kau mungkin tidak akan ragu untuk mengatakan bahwa sosok itu adalah makhluk tercantik yang pernah kau temui jika saja ukuran tubuhnya tidak sebegitu besar, karena aura intimidasi yang dipancarkan membuatmu lupa akan kecantikannya.

Tak ada sehelai kain atau aksesoris apa pun yang melekat pada tubuhnya kecuali sebuah besi pipih warna hitam melingkari leher. Elyssa begitu mempesona tetapi sarat akan kengerian pada waktu bersamaan.

Kau sudah cukup sering mendengar tentang iblis yang sengaja dipelihara manusia demi kepentingan pribadi. Tapi, ini adalah kali pertama kau menyaksikan sendiri wujud salah satunya dengan begitu jelas di depan wajahmu.

Ketika akhirnya kau bertukar pandang dengan manik lavender sosok tersebut, tubuhmu tak kuasa lagi untuk menopang berat badan. Kau terjatuh di antara tajam ilalang dan kelabakan mencari tempat sembunyi di balik kaki Chris. Bernapas saja rasanya tercekat, apa lagi berteriak. Kau pun menelan rasa takutmu bulat-bulat.

“Dia tidak seharusnya ingat ‘kan, Elyssa?” pemuda itu mengulangi pertanyaannya, mendesak sebuah jawaban secepat mungkin.

“Iya. Seharusnya. Tapi, Chris … kau masih ingat pengecualian yang pernah aku ceritakan, bukan?”

Suara Elyssa ternyata begitu jauh dari apa yang kau bayangkan, mengerikan. Nyatanya, ia terdengar begitu lembut seperti sentuhan kupu-kupu. Diselimuti rasa penasaran, kau mengangkat pandanganmu dengan ragu-ragu untuk menatap rupanya sekali lagi.

Rupanya, Elyssa juga tengah memperhatikanmu, ia tersenyum tipis sebelum mengalihkan fokusnya pada Chris.

“Orang pertama yang berhasil mempertahankan ingatannya dari dimensi ilusi adalah “The One”,”

“Dia adalah “The One”, Chris. Selamat!”

Kau tidak sepenuhnya mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Terlebih, reaksi Chris setelahnya terkesan memberi makna bahwa apa pun itu yang mereka maksud, adalah sesuatu yang buruk. Dan kau, adalah sesuatu yang buruk tersebut.

“Tidak mungkin, Elyssa! Ini tidak mungkin! Kenapa dia? Kenapa harus dia?!” mendengar nada mengejek yang ditujukan Chris padamu, kau segera bangkit dan menemukan suara untuk menyela. “Memangnya apa yang salah denganku? Hah!”

“Dan juga, apa arti dari dawon … dhewan — apalah itu yang kalian bicarakan? Apakah itu berasal dari bahasa asing yang sama dari para pedagang jauh di pelabuhan?”

Entah keberanian dari mana, kau bahkan menunjukkan raut kesalmu pada Elyssa yang beberapa menit lalu hampir membuat nyawamu melayang saking terkejutnya kau akan wujudnya.

“Elyssa. Pasti ada sesuatu yang salah di sini.” Chris sekarang memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Ia melirik ke arahmu dilanjutkan dengan mendecih.

“Sangat tidak mungkin, Chris. Dewi Bulan tidak akan pernah salah dalam menuliskan takdir cinta. Cinta adalah — “

“Berhenti! Tidak perlu kau lanjutkan lagi!” Chris mengangkat telapak tangannya setara dada, Elyssa terkekeh kecil sebelum melakukan sesuatu yang membuatmu lagi-lagi tercengang.

Makhluk elok sekaligus mengintimidasi itu berubah wujud menjadi manusia. Wujud raksasanya digantikan oleh seorang gadis muda bugil yang perawakannya hampir mirip sepenuhnya dengan bagaimana ia terlihat dalam rupa asli, yang kau saksikan sekarang bisa dibilang sebagai versi mininya.

Ternyata, iblis benar-benar bisa menyerupai manusia dan membaur di antaranya. Kau bergidik ngeri setelah mengkonfirmasi sendiri bahwa cerita yang hanya kau dengar selama ini rupanya sungguhan.

Elyssa berjalan menuju ke satu-satunya pohon besar di tengah ladang ilalang itu dan segera menyembunyikan diri di baliknya. Tak lama kemudian, ia muncul kembali dengan tubuh terbalut sebuah gaun putih kumal yang dihiasi lumpur mengering pada beberapa bagiannya, surai cokelat keemasannya pun kini dikepang.

Gadis jejadian itu langsung mengambil obor yang sebelumnya sudah dibungkus kain oleh Chris, sementara si pembungkus, ia duduk lesu di atas tanah memegangi kepalanya lagi.

“Apa kau lapar?” tanya Elyssa. Kau menunjuk dirimu sendiri karena tidak yakin bahwa pertanyaan itu ditujukan padamu.

“Iya, kau. Apa kau lapar?”

Jika bukan karena pertanyaan itu, mungkin saja kau tidak akan ingat bahwa hari ini kau belum mengkonsumsi apa pun, bahkan setetes air. Rentetan peristiwa yang kau alami terasa begitu gila hingga kau lupa akan kebutuhan pokokmu sendiri.

“Oh. Iya, aku lapar,” kau menjawab dengan canggung, aneh rasanya bercakap-cakap dengan Elyssa, terlebih membicarakan topik sederhana seperti itu. Berbicara dengan Elyssa sendiri … aneh.

“Tidak jauh dari sini ada sebuah pasar. Ayo, kita cari pengisi perutmu.”

Tanpa melirik Chris sedikit pun, Elyssa bergegas memutar tungkai dan memberimu isyarat untuk mengikutinya. Kau yang masih menyimpan sedikit rasa takut terhadap makhluk tersebut lantas menarik lengan Chris untuk segera bangkit.

“Ayo, Chris! Cepat! Bukankah sebelumnya kau bilang bahwa cacing-cacingmu kelaparan?”

“Jangan menyentuhku!”

Respon tersebut tidak kau duga sama sekali. Pahamu sedikit nyeri karena tangan Chris menghantamnya ketika menepis peganganmu.

Sungguh, apa yang salah dengan pemuda itu? Kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri. Sejak obrolannya bersama Elyssa perihal kau yang masih ingat tentang kejadian di dimensi ilusi dengan istilah dari bahasa asing yang masih tidak kau pahami, suasana hatinya tampak anjlok dan semakin lama semakin tidak jelas.

“Aku tidak menyukaimu! Aku membencimu!”

Kau memutuskan bahwa ucapan itu sudah keterlaluan. Kau bahkan tidak mengatakan apa pun meski pahamu nyeri. Jadi, kenapa Chris masih saja bertingkah seperti bajingan?

“Hah! Kau pikir aku menyukaimu?” kau berkacak pinggang dalam emosi yang bersungut-sungut, “aku juga tidak menyukaimu! Aku juga membencimu! Kau santaplah semua ilalang ini seperti sapi sampai cacing-cacingmu kenyang!”

Segera saja kau tinggalkan Chris untuk menyusul Elyssa yang rupanya masih menunggumu, diam-diam menyimak pertikaian konyol barusan.

Dalam perjalanan menuju pasar yang dihiasi dengan pertunjukan keluarga tupai berlarian, kelinci-kelinci hutan yang mengintip penasaran, dan seekor beruang madu yang lari terbirit-birit saat Elyssa menirukan auman singa, kau memberanikan diri untuk merajut obrolan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Elyssa, seperti;

“Apa hubunganmu dengan Chris?”

“Apakah kau tidak bisa berubah wujud dan langsung berpakaian lengkap?”

“Dimensi ilusi itu apa?”

Elyssa menjawab semua pertanyaanmu dengan nada bersahabat meskipun diselingi kekehan kecil.

“Katakanlah … Chris membeliku. Jadi, aku harus patuh padanya. Kau pasti tidak asing dengan hal ini, bukan?”

“Sayang sekali, tidak bisa. Aku adalah iblis, bukan pesulap.”

“Bukan apa-apa, hanya sebuah tempat bermain bagi mereka yang memelihara iblis. Tidak perlu terlalu kau pikirkan.”

Hari itu, kau menutup hari dengan mencicipi semua jajanan pasar sepuasmu, Elyssa yang membayar. Iblis itu rupanya sangat kaya, kau jadi mengerti dari mana Chris mendapatkan koin setara upah menjadi babu lepas seumur hidup untuk membeli pemantik besi.

Ngomong-ngomong tentang Chris — Ah, peduli setan! umpatmu.

Mungkin saja dia sungguhan menyantap ladang ilalang seperti sapi, mengingat pemuda itu memang konyol. Biarlah dia terus merajuk seperti kerbau gila. Nanti, ketika rindu pada manisan jahe buatanmu, pemuda itu pasti akan berkunjung ke rumahmu dan memohon-mohon lagi untuk dimaafkan. Dia memang sangat konyol.

— felinecie, 2024.10.13

--

--